Kamis, 30 Oktober 2008

masa' Juve kalah sih sama AC Milan ???



Suatu hari, ketika gw sedang makan bareng...gw dikatai seperti ini , "Masa juve kalah sih sama AC Milan ?". Kaget, terdiam,,,tp lagi malas berargumen.

Tapi, sebenarnya, ketika kita men-judge sesuatu, apalagi untuk perbandingan yang variabelnya relatif banyak,,,sebenarnya nggak bisa memunculkan konklusi hanya dalam beberapa detik. Misalnya dalam hal Juve dan Milan, hal terbesar apa sih yg dijadikan perbandingan untuk memunculkan konklusi Juve kalah ama Milan secepat itu ? Kita sering kali melakukan perbandingan dalam satu variabel yang sebenarnya signifikansi nya cukup kecil dibanding variabel yang lain. Misalkan, kalimat tadi muncul akibat posisi klub pada klasemen yang sekarang Juve masih ada di bawah Milan , lalu bijakkah kita mengatakan Juve kalah sama AC Milan ? Atau misalnya ad loop seperti ini : Napoli dikalahkan AC Milan, Juve dikalahkan Napoli, lalu Juve dikalahkan AC Milan ? Ya nggak dong ... perbandingan seperti ini tidak terjadi dalam kasus Juve dan Milan tadi.



Kalo dilihat dari segi sejarah, Juve unggul telak. Daftar juara di Liga, Juve unggul banyak. Daftar liga champion, Milan sedikit unggul. So, masa si Juve kalah sama AC Milan ???? Apalagi ditambah dengan subjektivitas, misalnya dalam hal ini , gw sebagai penggemar Juve, dikatai seperti itu . Meskipun,,misalnya, secara nyata Juve tetep kalah,,tetapi sebagai fans yangbaik, yang punya rasa loyalitas,,,rasa sayang terhadap klub,,,I still think that Juve is better, even more.Rasa sayang, loyal dan sejenisnya akan membuat hal kecil menjadi lebih besar. Seharusnya!

Relevansi kejadian ini juga kadang terjadi di kala kita sedang membandingkan dua orang. Misalkan, si A, tidak bisa berbahasa Inggris,dan si B bisa. Cukupkah kita mengatakan si A kalah dari si B ? Kemampuan bahasa inggris (barangkali juga kemampuan lainnya..) tidaklah cukup signifikan terhadap kemampuan orang untuk dibandingkan sehingga memunculkan konklusi menyakitkan seperti tadi. Apa bila si A jago bermain bola sementara si B nggak bisa,,,apakah A langsung bisa menang dari si B ??? Toh, pun misal nya si B dalam kasus satu variabel dia kalah, tp analog dengan subjektivitas tadi, barangkali rasa sayang kita, loyal terhadap teman,sahabat dan pacar (barangkali...) seharusnya menjadikan itu bukanlah hal yang besar, dan mungkin kita bisa tetap mengatakan B lebih baik dari A karena kita ada kedekatan emosional yang besar.

Esensi dari perbandingan adalah sebenarnya menarik satu kesimpulan dari sekian variabel yang lalu bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Jika tidak, sebaiknya, perbandingan yg berujung kesimpulan yang menyakitkan tidak baik kita lontarkan. Meminjam salah satu kata temen gw, bahwa kemampuan orang yg menonjol barangkali berbeda-beda, tapi sigma kemampuan semua orang gw yakin itu sama. Inget rules yang ada. No body's perfect sepertinya menjadi kesimpulan yang lebih baik, daripada sekedar 'masa A kalah dari B' .[CMIIW]

4 komentar:

  1. iya deh iyaa..
    ampun puud..
    analoginya panjang bgt deh,,padahal intinya tuh cuman satu..haha..
    santaaaii..

    -i2R-

    BalasHapus
  2. santaii ... santaii ...
    situ santai,,,sini gimana ???

    hehe...untung kamu lagi ultah ir ...

    hehe kalo gak udah jitak berkali2 itu mah ...

    BalasHapus
  3. dasar!! senengnya menganiaya..

    BalasHapus
  4. hehe...padahal seneng tuh
    kan cuma jitak sayang ...
    daripada yg teraniaya adalah hati ???
    hayooo ....

    BalasHapus